Jumat, 25 Desember 2009

PESANTREN DAN WAWASAN KEBANGSAAN


PESANTREN DAN WAWASAN KEBANGSAAN
Oleh: Abu Masykur Hakim
Pesantren sebagai salah satu sarana dalam mendakwahkan Islam dan sebagai lembaga pendidikan Islam non formal dalam kiprahnya telah mewarnai sejarah perjuangan bangsa Indonesia hingga kini masih eksis. Pesantren merupakan benteng terakhir bagi pertahanan bangsa ini, karena dari pesantrenlah lahirlah para 'ulama sebagai pendukung dan pengontrol jalannya pemerintahan. Tidak adanya 'ulama tentu negara ini secara moral akan hancur. Oleh karena itu, pesantren merupakan aset bangsa yang sangat berharga.
Dapat dikatakan bahwa pesantren memiliki dua misi, yaitu misi pendidikani (mission of education) dan misi sosial (mission of social). Misi pendidikan adalah misi yang mengedepankan pentingnya pendidikan karena setiap muslim baik itu laki-laki maupun perempuan diwajibkan untuk menuntut ilmu dimulai dari dalam kandungan hingga liang lahat atau yang dikenal dengan sebutan "Pendidikan seumur hidup" (Long life of education). Sedangkan misi sosial adalah misi yang mengedepankan pentingnya menjaga kemaslahatan umat karena agama Islam sebagai rahmatan lil 'alamin.
Dari pemaparan di atas maka jelaslah bahwa pesantren merupakan aset yang sangat berharga bagi bangsa ini. Oleh karena itu pentinglah wawasan kebangsaan disosialisasikan atau bahkan dijadikan kurikulum pesantren (bagi pesantren yang sudah siap menerima hal ini) agar kalangan pesantren dapat memahami tentang wawasan kebangsaan dan tidak sekedar mengetahui tentang wajibnya membela negara saja karena wawasan kebangsaan meliputi beberapa aspek, di antaranya adalah pancasilaisme dan kebhineka Tunggal Ika-an.
Bagi kalangan pesantren sendiri memperjuangkan bangsa dari keterjajahan adalah suatu kewajiban karena merupakan salah satu bagian dari iman (hubbul wathan min al-iman). Oleh karena itu, tidak heran jika perjuangan bangsa ini tidak terlepas dari peran serta kalangan pesantren.
Kalau dilihat dari peran sertanya, kalangan pesantren sangat partisifatif dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dari sekian tokoh-tokoh founding father (bapak pendiri) bangsa kita tidak sedikit dari kalangan pesantren, seperti K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Wahab Hasbullah, K.H. Abdullah Abbas, dan masih banyak lagi.
Beliau-beliau (para kyai) tersebut selain menekankan pada pentingnya mendalami ilmu agama sebagai modal dalam mendakwahkan Islam juga menekankan pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan, cinta tanah air, dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Asal-usul Pesantren
Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah "tempat belajar santri", sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bambu. Di samping itu, kata "pondok" berasal dari bahasa Arab "funduq" yang berarti hotel atau asrama.
Asal-usul kelahiran pesantren sangatlah sederhana. Awalnya, seorang faqieh (sebutan pakar yurisprudensi Islam,fiqh) setelah melahap tumpukkan kitab di berbagai pesantren, bahkan terkadang sampai di Timur Tengah, datang ke suatu kampung. Mula-mula dia mendirikan mushala, langgar, atau surau untuk menampung masyarakat untuk shalat berjama'ah. Kemudian di situ juga pengajian keagamaan dilaksanakan. Dengan kepiawaian dan kealiman seorang faqih semakin hari semakin tersebar sehingga orang-orang yang mengikuti pengajian yang tadinya sedikit semakin bertambah, baik dari penduduk desanya sendiri maupun dari luar desa lain.
Semangat para jama'ah yang begitu tinggi, terutama dari kalangan anak-anak dan anak muda, mendorong mereka untuk tetap berada dan tinggal disamping sang faqih agar dapat mewarisi ilmu darinya secara lebih intensif. Kondisi ini mengharuskan mereka berdomisili dekat sang faqih (yang selanjutnya dipanggil kyai). Karena daya tampung rumah kyai sangat terbatas, para santri bersama wali santri akhirnya saling bergotong royong dan bahu-membahu mendirikan asrama (kamar,bilik). Dalam bangunan baru ini, para santri tidak hanya belajar ilmu agama saja, tetapi juga membentuk komunitas masyarakat. Dari kehidupan yang sederhana inilah yang akan membentuk nilai-nilai moralitas yang baik, di antaranya adalah tulus-ikhlas, sabar, tawakal, tawdhu', jujur serta mandiri.
Pondok pesantren memiliki model-model pengajaran yang bersifat non klasikal, yaitu model sistem pendidikan dengan menggunakan metode pengajaran sorogan dan wetonan atau bendungan (menurut istilah dari Jawa Barat).
Lembaga yang sering disebut-sebut "tradisional" ini kini memasuki era globalisasi seiring kemajuan IPTEK yang mau tidak mau harus menerima kenyataan ini sehingga ada yang memasukkan unsur-unsur dari kemajuan IPTEK ke dalam pesantren dan ada yang tidak memasukkannya atau bahkan menolak unsur-unsur dari kemajuan IPTEK tersebut. Pesantren yang memasukkan unsur-unsur dari kemajuan IPTEK sekarang disebut dengan pesantren modern dan pesantren yang tidak memasukkan atau menolak unsur-unsur dari kemajuan IPTEK disebut dengan pesantren tradisional. Terlepas dari hal itu, yang terpenting adalah pesantren tetap eksis untuk ikut serta mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengembangkan pentingnya wawasan kebangsaan.
Pesantren dan Ideologi Pancasila
Berbicara mengenai pesantren dan ideologi Pancasila, alangkah baiknya kita melihat aspek historis dari keduanya (pesantren dan Pancasila). Pesantren secara historis lahir dari peradaban Islam sedangkan Pancasila lahir dari peradaban Indonesia. Kedua peradaban tersebut tentu memiliki perbedaan, seperti halnya peradaban Islam yang lahir dalam peradaban Arab.
Pesantren lahir dari peradaban Islam artinya adalah adanya pesantren merupakan embrio dari pengembangan media dakwah Islam, yaitu bagaimana menyampaikan ajaran Islam kepada pemeluknya dengan cara yang bijaksana dan metode yang baik (bil hikmah dan mau'idhzah hasanah). Istilah pesantren hanya dikenal di Indonesia sedangkan di luar Indonesia tidak dikenal dengan sebutan pesantren atau dapat dikatakan bahwa pesantren adalah salah satu media dakwah dalam menyampaikan ajaran Islam dalam konteks ke-Indonesiaan.
Sedangkan Pancasila lahir dari peradaban Indonesia artinya Pancasila lahir dalam ruang sosio-kultural bangsa Indonesia yang diwariskan dan sudah melekat dalam jiwa bangsa Indonesia.
Gagasan tentang Pancasila sebenarnya sudah ada sejak zaman dahulu kala, namun baru disahkan menjadi ideologi bangsa Indonesia ketika zamannya Soekarno. Proses pengesahan Pancasila (pada zaman Soekarno) menjadi ideologi negara menimbulkan perdebatan yang cukup sengit.
Dari uraian di atas dapat kita pahami bahwa pesantren yang lahir dari peradaban Islam dan Pancasila yang lahir dari peradaban Indonesia dalam konteks sosio- kultural bangsa Indonesia selain memiliki perbedaan tentu juga memiliki kesamaan. Perbedaannya adalah pesantren lahir dari peradaban Islam, paling tidak masih mengandung unsur-unsur budaya Arab yang telah disesuaikan dengan ajaran Islam karena Islam pertama kali lahir dalam konteks sosio-kultural Arab sehingga budaya Indonesia sedikit kesulitan mendapatkan legitimasi hukum dari syari'at Islam. Adapun kesamaannya adalah selain kesamaan dalam konteksnya (ke-Indonesiaan) juga adanya kesamaan nilai-nilai Pancasila yang terdiri dari 5 pasal dengan ajaran Islam, yaitu:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila pertama ini merupakan salah satu inti dari teologi Islam dan merupakan ajaran Islam yang pertama kali harus disampaikan kepada pemeluknya. Artinya pasal ini mengikrarkan diri bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, sebagaimana yang terdapat dalam kalimat syahadat (asyhadu an laa ilaaha illa Allaah) yang merupakan rukun Islam yang pertama dan terdapat dalam surat al-Ikhlash ayat pertama (Qul huwa Allahu ahad).
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
Sila kedua ini berisikan ajaran untuk berlaku adil dan menegakkan keadilan demi kemaslahatan umat tentunya sejajar dengan ajaran Islam, karena salah satu dari tujuan syari'at Islam (maqashid as-Syari'ah) adalah menegakkan keadilan demi kemaslahatan umat, sebagaimana yang dijelaskan dalam surat an-Nisa ayat 58 dan ayat 105.
3. Persatuan Indonesia
Tuhan menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar mereka saling mengenal dan saling berinteraksi, oleh karena itu manusia disebut sebagai makhluk sosial (zoon politicon). Begitu juga dengan bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, adat,bahasa, dan sebagainya tentu perlu adanya satu ikatan yang dapat mempersatukan semua perbedaan itu sekaligus menghindari adanya perpecahan yang akan berdampak negatif terhadap sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti pertikaian antar suku, antar kelompok, dan lain sebagainya. Hal ini yang terkandung dalam sila ketiga Pancasila dan sejalan dengan ajaran Islam yang menghendaki adanya persatuan (al-ittihad) dan tidak menghendaki adanya perpecahan, sebagaimana yang tercantum dalam surat Ali 'Imran ayat 103.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, dalam permusyawaratan dan perwakilan
Dalam pasal ini menunjukkan bahwa negara republik Indonesia adalah negara demokratis, artinya kekuasaan ada di tangan rakyat dan pemerintah melaksanakan amanat atau aspirasi rakyat sehingga di Indonesia tidak berlaku kekuasaan yang absolut dan otoriter. Oleh karena itu, dalam menentukan arah kebijakannya Indonesia mempunyai prinsip dasar yaitu musyawarah. Salah satu bentuk realisasi dari prinsip musyawarah tersebut, maka di Indonesia dikenal adanya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dipilih secara demokratis oleh seluruh warga negara Indonesia dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Prinsip musyawarah dalam sistem demokrasi negara Indonesia sejalan dengan ajaran Islam, hal ini sebagaimana yang terdapat dalam surat Ali Imran ayat 159 dan surat Asy-Syura ayat 38. Begitu pentingnya prinsip ini, Nabi pun ternyata masih diperintah oleh Allah untuk bermusyawarah dengan para sahabat, terutama dengan kaitannya dengan soal –soal kemaslahatan umat (al-mashlahah al-'ammah). Prinsip ini secara efektif mengikis habis kultur otoritarianisme dan absolutisme dalam kekuasaan.
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Pasal ini menjelaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan keadilan dalam berbagai aspek kehidupan. Keadilan ini harus menyeluruh tanpa adanya diskriminasi dalam bentuk apapun. Asas keadilan ini sangat berkaitan sekali dengan Hak Asasi Manusia (HAM) karena asas keadilan harus sejalan dengan konteks HAM.
Segala bentuk ketidakadilan di dunia ini harus dibumihanguskan. Semua agama di dunia ini sangat tidak menghendaki adanya ketidakadilan, termasuk agama Islam sebagaimana ditegaskan oleh Allah SWT dalam surat ash-Shad ayat 16 dan surat an-Nisa ayat 58. Islam memandang keadilan harus ditegakkan kepada semua orang tanpa pandang bulu, sungguhpun non-Muslim.
Pesantren dan Demokrasi
Kata "demokrasi" selamnya tidak pernah ditemukan dalam tumpukkan kitab kuning yang dibaca para santri di pesantren. Demikian pula istilah "hak-hak asasi manusia", "hak-hak rakyat", "republik", dan sebagainya. Masuk akal kalau banyak kyai merasa kaku ketika disodori persoalan-persoalan tersebut. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan dan kesalahpahaman, perlu kiranya kalangan pesantren mempertajam wawasan tentang fiqih demokrasi.
Dalam menelusuri pengertian dan asal-usulnya, kita bisa memahami bahwa demokrasi berasal dari bahasa Yunani "demos" dan "kratos". Artinya, pemerintahan rakyat, atau sering didefinisikan sebagai bentuk pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Suatu pemerintahan diakui demokratis manakala keadilan telah ditegakkan, hukum diberlakukan tanpa pandang bulu, ada jaminan kebebasan berekspresi dan berserikat, menjunjung tinggi permusyawaratan, serta memegang teguh hak-hak asasi manusia (HAM).
Saat ini, tegaknya suatu pemerintahan atau negara harus dibangun atas pilar-pilar keadilan,kejujuran, amanah, jaminan perlindungan hak asasi, kebebasab berekspresi dan berserikat, persamaan hak serta musyawarah. Pilar-pilar ini menopang tegaknya negara bersangkutan dan berjalannya roda pemerintahan secara efekitf. Dengan demikian, tidak diragukan lagi, mempelajari demokrasi dan menerapkannya merupakan sesuatu yang wajib hukumnya. Bahkan wajib 'ain bagi setiap kaum Muslim.
Perjalanan Islam pun kemudian dilanjutkan dalam sejarah untuk merealisasikan misi utama rahmatan lil 'alamin. Maksud dan tujuan tersebut terakumulasi dalam lima prinsip universal (al-kulliyatul khams). Yakni, menjamin kebebasan beragama (hifzhuddin), memelihara nyawa (hifzhu an-nafs), menjaga ketiurunan dan profesi (hifzh al-nasl wal-'irdl), menjamin kebebasan berekspresi dan berserikat (hifz al-'aql). Dengan prinsip-prinsip inilah demokrasi jadi bermakna bagi lingkungan pesantren. Pendekatan inilah yang sering diangkat oleh K.H. Abdul Wahab Hasbullah, K.H. Ali Ma'shum, K.H. Achmad Shiddiq, K.H. Sahal Mahfudhz, dan didukung oleh segenap aktivis NU yang lain.
Dengan demikian, sudah seharusnya komunitas pesantren mempelajari fiqih demokrasi, sebagaimana halnya wajibnya melakukan shalat lima waktu. Pola pendidikan tentu tidak harus terpaku secara teoritis belaka, tetapi melalui " manhaj wa tahqiq ma'al uswah al-hasanah" (teori dan praktik disertai contoh dan suri teladan yang baik), dari tingkat penataan kepengurusan pondok pesantren, organisasi santri, hingga yayasan. Hal ini menjadi saham yang tidak kecil bagi kehidupan demokrasi.
Pesantren dan Bhineka Tunggal ika
Bhineka Tunggal Ika secara lughawi berasal dari bahasa Sanskerta. Bhineka Tunggal Ika berarti berbeda-beda, tetapi tetap satu.
Meski berasal dari bahasa Sanskerta, yang dikatakan identik dengan ajaran Hindu/Budha, sebetulnya semboyan Bhineka Tunggal Ika sangat relevan pula dengan ajaran –ajaran agama besar sesudahnya, termasuk dalam agama Islam. Sebagaimana yang dijelaskan dalam surat al-Hujurat ayat 13:
Artinya: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan besuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal". (QS al-Hujurat: 13)
Ayat tersebut secara subtantif sejalan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Artinya bahwa perbedaan suku bangsa, bahasa, adat, budaya dan sebagainya merupakan hal yang sunatullah. Adanya perbedaan melahirkan adanya interaksi sosial karena manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon) dan sangat mustahil roda kehidupan akan berjalan jika tidak ada perbedaan. Perbedaan tersebut merupakan kehendak Tuhan yang harus kita yakini, oleh karena itu barangsiapa yang tidak mengakui adanya perbedaan tersebut sama halnya dengan tidak meyakini kehendak Tuhan (takdir Tuhan). Dengan demikian, perbedaan bukanlah jurang pemisah di antara manusia justru dengan perbedaan inilah manusia berlomba-lomba dalam mencapai predikat "takwa" di sisi Tuhan karena sebaik-baiknya Manusia adalah yang paling bertakwa kepada-Nya. Oleh karena itu, sangat perlu kalangan pesantren memahami semboyan Bhineka Tunggal Ika dan diaplikasikannya dalam kehidupan bermasyarakat atau paling tidak diaplikasikan dalam kehidupan pesantren.
Pesantren Pencetak Ulama yang Negarawan
Bagi kalangan pesantren, menjaga keutuhan dan tegaknya suatu negara adalah kewajiban bagi setiap warga negara karena kalangan pesantren menganggapnya membela negara adalah salah satu bagian dari iman (hubbul wathan minal iman). Bagi kalangan pesantren, mendirikan sebuah negara adalah suatu keharusan sedangkan mendirikan negara Islam bukan keharusan karena tidak ada satu pun penjelasannya yang detail dalam al-Qur'an dan as-Sunnah. Oleh karena itu, tidak harus memaksakan untuk mendirikan negara Islam. Prinsip inilah yang dipegang oleh kalangan pesantren sehingga mereka mengakui ideologi Pancasila sebagai dasar negara RI.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa secara tidak langsung wawasan demokrasi dan politik sudah ada dalam kehidupan pesantren dan inilah yang mewarnai kehidupan demokrasi Indonesia yang katakanlah masih kental dengan nilai-nilai religius. Maka tidak asing lagi, ketika menjelang pesta demokrasi baik itu pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan presiden peran kyai banyak diperhitungkan karena kyai dapat mengerahkan massa yang cukup banyak yaitu santri dan masyarakat sekitarnya. Namun yang masih disayangkan adalah kalangan pesantren masih pasif dan adanya anggapan bahwa politik itu kotor, sehingga kalangan pesantren banyak tidak tertarik dalam politik.Padahal politik juga dapat dijadikan sebagai media dakwah karena ketika pemerintahan ini dikuasai oleh orang-orang non-Muslim tentunya kebijakannya sedikit berpihak kepada orang-orang Islam. Oleh karena itu, perlu adanya penegasan kembali bahwa politik itu tidak kotor selama tidak melanggar syari'at Islam dan UU yang berlaku dan merupakan jihad fi sabilillah demi tegaknya Islam di Negara Republik Kesatuan Indonesia. Penulis berharap kalangan pesantren berperan secara aktif dalam perpolitikan dan penulis yakin bahwa pesantren dapat mencetak ulama yang negarawan seperti K.H. Hasyim Asy'ari, K.H Wahab Hasbullah, K.H. Wahid Hasyim, dan lain sebagainya. Wallahu 'alam bis Shawab
Rujukan
Aqil Siradj, Said.Tasawuf Sebagai Kritik Sosial. Tangerang: Pustaka Irvan. 2008.
Turmudi, Endang. Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan. Yogyakarta: Lkis. 2004.
K. Rukiah, Enung, Hikmawanti, Fenti. Sejarah Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia. 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar