Minggu, 18 Juli 2010

Sejarah Kodifikasi Hadis

BAB I
PENDAHULUAN


Pada dasarnya, ulumul hadits telah lahir sejak dimulainya periwayatan hadits dalam Islam, terutama setelah Rasululloh SAW wafat. Ketika umat Islam merasakan perlunya menghimpun hadits-hadits Rasul SAW, karena adanya kekhawatiran hadits tersebut akan lenyap. Dasar dan landasan periwayatan hadits dalam Islam dijumpai di dalam Al-Qur’an dan hadits Rasul SAW.
Pada abad ke-3 hijriyah dikenal dengan masa keemasan. Dalam sejarah perkembangan hadits, mulailah ketentuan dan rumusan kaidah hadits ditulis dan dirumuskan.
Pada abad ke-4 dan ke-5 hijriyah mulailah ditulis secara khusus kitab-kitab yang membahas ilmu hadits yang bersifat luas dan lengkap. Pada abad berikutnya, bermunculanlah karya-karya dibidang ilmu hadits ini yang sampai sekarang menjadi referensi utama dalam membicarakan ilmu hadits.
Dalam sejarah penghimpunan dan kodifikasi hadits mengalami perkembangan yang agak lamban dan bertahap dibandingkan perkembangan kodifikasi Al-Qur’an. Hal ini wajar saja karena Al-Qur’an pada masa Nabi sudah tercatat seluruhnya sekalipun sangat sederhana, dan mulai dibukukan pada masa Abu Bakar Khalifah pertama dari Khulafa Ar-Rasyidin. Penyempurnaanya dilakukan pada masa Utsman bin Affan yang disebut dengan Tulisan Utsmani (Khathth ‘Utsmani).
Sedangkan penulisan hadits pada masa Nabi secara umum justru malah dilarang. Masa pembukuannya pun terlambat sampai pada abad ke-2 H dan mengalami kejayaan pada abad ke-3 H. Perkembangan perhimpunan dan pengkodifikasian hadits di sini dibagi menjadi 5 periode, yaitu periode Nabi Muhammad SAW, periode sahabat, periode tabi’in, dan periode tabi’ tabi’in dan periode setelah tabi’ tabi’in






BAB II
PEMBAHASAN

A. Hadits pada Abad Pertama Hijrah
1. Penulisan Hadits pada Periode Rasululloh SAW
Kegiatan baca tulis sebenarnya sudah dikenal bangsa Arab sejak masa Jahiliyyah, walaupun sifatnya belum menyeluruh. Setelah Islam turun, kegiatan membaca dan menulis ini semakin lebih digiatkan dan digalakkan, hal ini terutama adalah karena di antara tuntutan yang pertama diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW melalui wahyu-Nya adalah perintah membaca dan belajar menulis, seperti yang tertera dalam Q.S Al-‘Alaq ayat 1-5 yang berbunyi :
                        
Artinya:
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah,
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Terlebih lagi bahwa risalah yang dibawa Rasul SAW menghendaki adanya adanya orang-orang yang bisa membaca dan menulis, seperti sebagai penulis wahyu (al-Qur’an), dan demikian juga halnya dengan permasalahan pemerintahan, seperti kegiatan surat-menyurat dan pembuatan akad perjanjian, setelah Rasululloh membangun pemerintahan di Madinah, yang kesemuanya itu memerlukan adanya juru tulis.
Pada masa Rasul SAW sudah banyak umat Islam yang bisa membaca dan menulis. Bahkan Rasul SAW sendiri mempunyai 40 orang penulis wahyu di samping penulis-penulis untuk urusan lainnya. Oleh karenanya, argument yang menyatakan kurangnya jumlah umat Islam yang bisa baca dan tulis adalah penyebab tidak dituliskannya hadits secara resmi pada masa Rasul SAW, adalah kurang tepat, karena ternyata, berdasarkan keterangan di atas terlihat bhawa, telah banyak umat Islam pada saat itu yang mampu membaca dan menulis.
Mengapa hadits tidak atau belum ditulis secara resmi padat masa Rasul SAW, terdapat berbagai keterangan dan argumentasi yang kadang-kadang satu dengan yang lainnya saling bertentangan. Diantaranya ditemukan hadits-hadits yang sebagiannya membenarkan atau bahkan mendorong untuk melakukan penulisan hadits Nabi SAW, di samping ada hadits-hadits lain yang melarang melakukan penulisannya. Untuk memahami keterangan yang saling berlawanan mengenai penulisan hadits Nabi SAW, berikut ini dikutipkan hadits-hadits yang berkaitan dengan penulisan hadits tersebut.

a. Larangan Menuliskan Hadits
Terdapat sejumlah hadits Nabi SAW yang melarang para sahabat menuliskan hadits-hadits yang mereka dengar atau peroleh dari Nabi SAW. Hadits-hadits tersebut adalah :
عن ابي سعيد الخدري ان رسول الله صلي الله عليه وسلم قال لا تكتبوا عني ومن كتب عني غير القران فليمحه. {رواه مسلم}
Dari Abi Sa’id al- Khudri, bahwasannya Rasul SAW bersabda, “janganlah kamu menuliskan sesuatu dariku, dan siapa yang menuliskan sesuatu dariku selain Al-Qur’an maka hendaklah dia menghapusnya.” (HR Muslim).
عن ابي هريرة انه قال : خرج رسول الله صلي الله عليه وسلم ونحن نكتب الحاديث, فقال: ما هذا الذي تكتبون؟ قلنا احاديث نسمعها منك, فقال: كتاب غير كتاب الله؟ اتدرون ماضل الأمم قبلكم الا بمااتكبوا من الكتب مع كتاب الله تعالي. {رواه الخطيب}
Abu Hurairah berkata,” Nabi SAW suatu hari keluar dan mendapati kami sedang menuliskan hadits-hadits, maka Rasululloh SAW bertanya, “Apakah yang kamu tuliskan ini?” kami menjawab,” hadits-hadits yang kami dengar dari engkau ya Rasululloh,” Rasul berkata, “Apakah itu kitab selain kitab Allah (al-Qur’an)?Tahukah kamu, tidaklah sesat umat yang terdahulu kecuali karena mereka menulis kitab selain kitab Allah.”
Dari kedua hadits di atas dapat dipahami bahwa Rasululloh SAW melarang para sahabat menuliskan hadits-hadits beliau, dan bahkan beliau memerintahkan untuk menghapus hadits-hadits yang telah sempat dituliskan oleh para sahabat. Berdasarkan riwayat-riwayat seperti di atas, maka muncul di kalangan para ulama pendapat yang menyatakan bahwa menuliskan hadits Rasul SAW adalah dilarang.

b. Perintah (kebolehan) Menuliskan Hadits
Selain hadits-hadits yang isinya melarang menuliskan hadits, dijumpai pula hadits-hadits Nabi SAW yang membolehkan bahkan memerintahkan untuk meukliskan hadits beliau.
Di antara hadits-hadits Nabi SAW yang memerintahkan atau membolehkan menuliskan hadits adalah:
1. Hadits yang berasal dari Rafi’:
عن رافع خذيج انه قال: قلنا يارسول الله انا نسمع منك أشياء, أفنكتبها؟ قال: اكتبولي ولاحرج.
{رواه الخطيب}
Dari Rafi’ ibn Khudaij bahwa dia menceritakan, kami bertanya kepada Rasullulloh, “Ya Rasululloh, sesungguhnya kami mendengar dari engkau banyak hadits, apakah (boleh) kami menuliskannya?”Rasululloh menjawab, “Tuliskanlah oleh kamu untukku dan tidak ada kesulitan.” (HR Khatib).
2. Hadits yang berasal dari Al-Washil ibn Muslim dari Al-Auzha’i dari yahya ibn Abi katsir dari Abi Salamah ibn ‘Abd al-Rahman dari Abu Hurairah, dia menceritakan tentang khotbah Nabi SAW di Mekkah ketika penaklukan kota Mekkah. Setelah penyampaian khotbah tersebut, berdiri Abu Syah, seorang laki-laki dari negeri Yaman, seraya berkata:
فقال (اي أبوشاه : أكتبه لي يا رسول الله صلي الله عليه وسلم: اكتبو لإبي شاه,قال الوليد قلت للأوزاعي:
ماقوله لأبي شاه؟ قال هذه الخطبة التي سمعها من رسول الله صلي الله عليه وسلم. {رواه البخاري}5
Berkata Abu Syah,” Tuliskanlah bagiku ya Rasul,”maka Rasululloh SAW bersabda,”Walid berkata,”Aku bertanya kepada Al-auzha’i , Apakah yang dimaksudkan dengan perkataan Rasul SAW tuliskanlah olehmu untuk Abu Syah.”Auzha’i menjelaskan,”Yang dimaksud dengannya adalah khotbah yang didengarnya dari Rasul SAW.” (HR Bukhori)
Sementara itu, ‘Ajjaj al-Khatib menyimpulkan, ada empat pendapat yang bervariasi dalam rangka mengkompromikan 2 kelompok hadits yang terlihat saling bertentangan dalam hal penulisan hadits Nabi SAW tersebut, yaitu:
Pertama, bahwa larangan menuliskan hadits itu terjadi adalah pada masa awal Islam yang ketika itu dikhawatirkan terjadinya percampuradukan antara hadits dengan al-Qur’an.
Kedua, larangan tersebut ditujukan terhadap mereka yang memiliki hafalan yang kuat sehingga mereka tidak terbebani dengan tulisan; sedangkan kebolehan menulis diberikan kepada mereka yang hafalannya kurang baik, seperti Abu syah.
Ketiga, larangan tersebut bersifat umum, sedangkan kebolehan menulis diberikan khusus kepada mereka yang pandai membaca dan menulis sehingga tidak terjadi kesalahan dalam menuliskannya, seperti ‘Abd Allah ibn ‘Amr yang sangat dipercaya oleh Nabi SAW.

B. Periode Sahabat
Setelah Rasululloh SAW wafat para sahabat belum memikirkan penghimpunan dan pengkodifikasian hadits, karena banyaknya problem yang dihadapi, diantaranya timbulnya kelompok orang yang murtad, timbulnya peperangan sehingga banyak lain orang-orang asing/non Arab yang masuk Islam yang tidak paham bahasa Arab secara baik sehingga dikhawatirkan tidak bisa membedakan antara al-Qur’an dan hadits. Abu Bakar pernah berkeinginan membukukan Sunnah tetapi digagalkan karena khawatir terjadi fitnah di tangan penghafal al-Qur’an yang gugur dan konsentrasi mereka bersama Abu Bakar dalam membukukan al-Qur’an. Demikian juga kasus orang-orang yang tidak dapat dipercaya’
Umar bin Khatab juga pernah ingin mencoba menghimpunnya tetapi setelah bermusyawarah dan beristikharah selama satu bulan beliau berkata:
“Sesungguhnya aku punya hasrat menulis sunnah, aku telah menyebutkan suatu kaum sebelum kalian yang menulis beberapa buku kemudian mereka sibuk dengannya dan meninggalkan kitab Allah. Demi Allah sesungguhnya aku tidak akan mencampuradukan kitab Allah dengan sesuatu yang lain selamanya”.
Meskipun begitu terdapat beberapa dokumentasi penting sebelum pengkodifikasian hadits secara resmi, diantaranya:
1. Ash-shahifah as-shodiqoh, tulisan Abdullah bin Amr bin Ash (w. 65 H). Tulisan ini berbentuk lembaran-lembaran sesuai namanya ash-shahifah (lembaran), memuat kurang lebih 1000 hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan kitab-kitab Sunan lainnya.
2. Ash-shahifah Jabir bin ‘Abd Allah Al-anshori (w. 78 H) yang diriwayatkan oleh sebagian sahabat. Jabir mempunyai majlis atau halaqoh di masjid Nabawi dan mengajarkan hadits-haditsnya secara imlak atau dikte.
3. Ash-shohifah Ash-shohihah, catatan salah seorang Tabi’in Hammam bin Munabbih (w. 130 H). hadits-haditsnya banyak diriwayatkan dari sahabt besar Abu Hurairah, berisikan kurang lebih 138 buah hadits. Haditsnya sampai kepada kita yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan oleh Al-Bukhori dalm berbagai bab.

C. Periode Tabi’in
Pada masa abad ini disebut masa Pengkodifikasian Hadits (al-jam’u wa at-Tadwin). Khalifh Umar bin Abdul Aziz (99-110 H) yakni yang hidup pada akhir abad 1H menganggap perlu adanya penghimpunan dan pembukuan hadits, karena beliau khawatir, lenyapnya ajaran-ajaran Nabi setelah wafatnya ulama baik dikalangan sahabat maupun tabi’in. maka beliau intruksikan kepada para gubernur diseluruh wilayah negeri Islam agar para ulama dan ahli ilmu menghimpun dan membukukan hadits.
أنظرو حديث رسول الله صلي الله عليه وسلم فـأجمعوه
“Lihatlah hadits Rasululloh kemudian himpunlah ia”.
Tidak diketahui secara pasti ulama yang lebih dulu dalam melaksanakan intruksi khalifah tersebut, namun pendapat yang paling popular adalah Muhammad bin Muslim bin Asy-Syihab Az-Zuhri. Az-Zuhri dinilai sebagai orang pertama dalam melaksanakan tugas pengkodifikasian hadits dari khalifah Umar bin Abdul Aziz, dengan ungkapannya:
اكتب الي بما يثبت عن رسول الله صلي الله عليه وسلم فإني خشيت دروس العلم وذهاب العلماء
“Kami diperintahkan Khalifah Umar ibn Abdul Aziz untuk menghimpun sunnah, kami telah melaksanakannya dari buku ke buku, kemudian dikirim ke wilayah kekuasaan Sultan satu buku.
Diantara buku-buku yang muncul pada masa ini adalah:
1. Al-Muwaththa’ yang ditulis oleh Imam Malik
2. Al-Mushannaf oleh Abdul Razzaq bin Hammam Ash-Shan’ani
3. As-Sunnah ditulis oleh Abd bin Manshur
4. Al-Mushannaf dihimpun oleh Abu Bakar bin Syaybah, dan
5. Musnad Asy-Syafi’i.
Teknik pembukuan hadits hadits pada periode ini sebagaimana disebutkan pada nama-nama tersebut, yaitu al-mushannaf, al-muwaththa’, dan musnad. Arti istilah-istilah ini adalah:
1. Al-Mushannaf dalam bahasa diartikan sesuatu yang tersusun. Dalam istilah yaitu teknik pembukuan hadits didasarkan pada klasifikasi hukum fiqh dan didalamnya mencantumkan hadits marfu’, mauquf, dan maqthu’.
2. Al-Muwatththa’ dalam bahasa diartikan sesuatu yang dimudahkan. Dalam istilah Al-Muwaththa’ diartikan sama dengan Mushannaf.
3. Musnad dalam bahasa tempat sandaran sedang dalam istilah adalh pembukuan hadits yang didaarkan pada nama para sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut.
Tulisan-tulisan hadits pada masa awal sangat penting sebagai dokumentasi ilmiah dalam sejarah, sebagai bukti adanya penulisan hadits sejak zaman Rasululoh, sampai dengan pada masa pengkodifikasian resmi dari Umar bin abdul aziz, bahkan sampai pada masa sekarang.

D. Periode Tabi’ Tabi’in
Periode ini masa yang paling sukses dalam pembukuan hadits, sebab pada masa ini ulama hadits telah berhasil memisahkan hadits Nabi SAW dari yang bukan hadits atau dari hadits Nabi dari perkataan sahabat dan fatwanya dan telah berhasil pula mengadakan filterisasi (penyaringan) yang sangat teliti apa saja yang dikatakan Nabi, sehingga telah dapat di pisahkan mana hadits yang shahih dan mana yang bukan shahih. Seolah-olah pada abad ini hampir seluruh hadits telah terhimpun ke dalam buku, hanya sebagian kecil saja dari hadits yang belum terhimpun. Dan yang pertama kali berhasil membukukan hadits shahih saja adalah Al-Bukhori kemudian disusul Imam Muslim. Oleh karena itu, periode ini dengan juga disebut masa kodifikasi dan filterisasi (Ashr Al-Jami’ wa At-Tashhih).
Pada masa ini juga lahir para huffadz dan para pembesar kritikus hadits sekalipun menghadapi fitnah dan ujian (mihnah) dari kaum mu’tazilah seperti Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rawawih, Ali bin Al-Madini, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Muslim, Abu Abdullah Al-Bukhari, Muslim bin Al-Hajjaj, Abu Zar’ah dan lain-lain. Untuk menjawab tantangan dari ahli Kalam yang menyerang matan dan sanad hadits dengan cercaan bahwa hadits tidak layak dijadikan hujjah dalam islam, karena saling kontra antara satu dengan yang lain, Ibnu Quthaiibah (w. 234 H) menulis sebuah buku Ta’wil Mukhtalif al-Hadits sebagai jawaban.
Pada masa ini lahir pula lahir buku induk enam (Ummahat kutub as-sittah), yang dijadikan pedoman dan referensipara ulama’ hadits berikutnya, yaitu:
1. Al-Jami’ Ash-Shahih li Al-Bukhori (194-256 H)
2. Al-Jami’ ash-Shahih li Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi (204-261 H)
3. Sunan An-Nasa’i (215-303 H)
4. Sunan Abu Dawud (202-276 H)
5. Jami’ at-Tirmidzi (209-269 H)
6. Sunan Ibnu Majah Al-Qazwini (209-276 H)
Perkembangan pembukuan hadits pada periode tabi’in ada 3 bentuk, yaitu sebagai berikut:
1. Musnad, yaitu menghimpun semua hadits dari tiap-tiap sahabat tanpa memperhatikan masalah atau topiknya, tidak perbab seperti Fiqih dan kualitasnya ada yang shahih, hasan dan dha’if. Misalnya musnad Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H).
2. Al-Jami’, yaitu teknik pembukuan hadits yang mengakumulasi Sembilan masalah yaitu aqa’id, hukum, perbudakan, adab makan minum, tafsir, tarikh dan sejarah, sifat-sifat akhlaq, (syamail), fitnah (fitan), dan sejarah (manaqib).
3. Sunan, teknik penghimpunan hadits secara bab seperti fiqih, setiap bab memuat beberapa hadits dalam satu topic, seperti Sunan An-Nasa’I, Sunan Ibn Majah, dan sunan Abu Dawud. Didalam kitab ini ada yang shahih, hasan, dhaif akan tetapi yidak terlalu dha’if seperti hadits Munkar.

E. Periode Setelah Tabi’ Tabi’in
Pada masa abad ini disebut Penghimpunan dan penertiban (Al-Jam’I al-Tartib), Ulama yang hidup pada abad ke 4 H dan berikutnya disebut ulama mutaakhirin atau khalaf (modern) sedang yang hidup sebelum abad 4 H disebut ulama mutaqaddimin atau ulama salaf (klasik). Perbedaan mereka dalam periwayatan dan kodifikasi hadits, ulama mutaqaddimin hadits Nabi dengan cara mendengar dari guru-gurunya kemudian mengadakan penelitian sendiri baik matan maupun sanadnya. Untuk itu mereka tidak segan-segan mengadakan perjalanan jauh untuk mengecek kebenaran hadits yang mereka dengar dari orang lain. Sedang ulama mutaakhirin cara periwayatan dan pembukuannya bereferensi dan mengutip dari kitab-kitab mutaqaddimin. Oleh karena itu, tidak banyak penambahan hadits pada abad ini dan berikuutnya kecuali hanya sedikit saja. Namun, dari segi tekhnik pembukuan lebih sistematik dari pada masa-masa sebelumnya.
Perkembangan teknik pembukuan pada abad ini yakni pada abad 4-6 ialah sebagai berikut:
1. Mu’jam, artinya penghimpunan hadits yang berdasarkan nama sahabat secara abjad (alphabet) seperti Al-mu’jam al-kabir Sulaiman bin Ahmad Ath-Thabrani (w. 360 H). atau diartikan seperti Kamus ialah penghimpunan hadits didasarkan pada nama Masyayikh-nya atau negeri tempat tinggal atau kabilah secara abjad seperti Al-mu’jam al-awsath oleh penulis yang sama.
2. Shahih, artinya metode pembukuannya mengikuti metode pembukuan hadits Shahihayn (Al-bukhori dan Muslim) yang hanya mengumpulkan hadits shahih saja menurut penulisnya seperti Shahih Ibnu Hibban Al-bas’ti (w. 354 H) dan lain-lain.
3. Al-mustadrok, artinya menambah beberapa hadits shahih yang belum disebutkan dalam kitab Al-bukhori dan Muslim serta memenuhi persyaratan keduanya, seperti Almustadrok ‘ala Shahihayn yang ditulis Abi Abdillah Al-Hakim An-Naissaburi (w. 405 H).
4. Sunan, metode penulisannya seperti kitab sunan abad sebelumnya, yaitu cakupannya hadits-hadits tentang hukum seperti fikih dan kualitasnya meliputi shahih, hasan, dan dha’if, seperti Muntaqo ibn al-Jarud (w. 307 H), Syarah ad-Daruquthni (w. 385 H) dan Sunan Al-Bayhaqi (w. 458 H) .
5. Syarah, yakni penjelasan hadits baik yang berkaitan dengan sanad atau matan, terutama maksud dan makna matan hadits atau pemecahannya jika terjadi kontradiksi dengan ayat atau dengan hadits lain, misalnya Syarah Ma’ani Al-Atsar, dan Syarah Musykil Al-Atsar ditulis Ath-thahawi (w. 458 H).
6. Mustakhroj, yaitu seorang penghimpun hadits mengeluarkan beberapa buah hadits seperti yang diterima dari gurunya sendiri dengan menggunakan sanad sendiri, misalnya Mustadrok Abi Bakr Al-Isma’ili ‘ala Shahih Al-Bukhori (w.371 H).
7. Al-jam’u, gabungan dua atau beberapa buku hadits menjadi satu buku, Al-jam’u Bayn Ash-shahihayn yang ditulis oleh Ismail bin Ahmad yang dikenal dengan ibn al-Furat (w. 401 H).

Pada masa berikutnya abad ke 7-8 dan berikutnya disebut masa Penghimpunan dan Pembukuan Hadits secara sistematik(Al-jam’u wal At-tandzim). Setelah pemerintahan Abbasiyah jatuh ke tangan bangsa Tartar pada tahun 656 H, maka pusat pemerintahan pindah dari Baghdad ke Cairo Mesir India. Pada akhir abad ke-7 H Turki dapat menguasai daerah-daerah Islam kecuali bagian barat seperti Maroko dan sekitarnya. Pada abad ke-9 H Turki dibawah pemerintahan Otonom berhasil merebut kota Konstantinopel dan dijadikan Ibukotanya. Kemudian menaklukkan Mesir dan melenyapkan Khilafah Abbasiyah. Turki semakin kuat, akan tetapi sayang bersamaan dengan itu pemerintahan Islam di Andalusia hancur dan Islam padam setelah memancar sinarnya selama 8 abad. Karena kondisis tersebut umat Islam tidak bebas dalam menyampaikan hadits. Maka dilakukan secara mursalat (korespondensi), Ijazah, imla’. Metode ijazah artinya seorang guru memberikan ijin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadits yang ditulis oleh gurunya. Sedang metode Imla’, artinya seorang guru harus duduk di Masjid [biasanya hari Jum’at] kemudian ia menguraikan hadits itu baik dari segi kualitasnya, kandungannya dan lain-lain, sedang yang hadir mencatat, seperti yang dilakukan Zainuddin al-‘iraqi (w. 806 H), dan Ibnu Hajar Al-Asqolani (w. 852 H).
Usaha Umat Islam untuk mengeluarkan hukum dari hadits berjalan ddengan baik pada abad pertama, kedua dan ketiga Hijriyah. Pada abad keempat Hijriyah dan berikutnya umat Islam cenderung mengikuti madzhab fikih gurunya sekalipun dalam suatu masalah menyimpang dengan sunnah. Fanatic dalam satu madzhab melemahkan semangat Ijtihad, lemanhnya pemeriksaan otentitas suatu hadits, dan mengakibatkan perpecahan diantara mereka. Hanya sedikit diantara mereka yang selalu berusaha memelihara ijtihad dari hembusan taklid pada wktu itu, diantaranya:
Ibnu abdul Barr, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, Ibnu Al-Qayyim, ibnu Hajar Al-Atsqolani, As-Suyuti, Ash-Shana’i, Asy-syaukani, dan Muhammad Abduh.
















BAB III
PENUTUP

 KESIMPULAN

nbnoNo Periode Perkembangan Karakteristik Penulisan Model buku
1. Masa Nabi Muhammad SAW Larangan penulisan (Nahyu al-kitabah) Hadits di hapal luar kepala Catatan pribadi bentuk Shahifah (lembaran)
2. Masa Sahabat Penyederhanaan periwayatan (taqlil Ar-riwayah) pada Masa Khulafa’ur Rasyidin dan Masa Perlawatan hadits (rihlah ‘ilmiyah) masa setelahnya. Disertai sumpah dan saksi pada masa Khulafa’ur rasyidin dan disertai sanad pada masa setelahnya Catatn pribadi dalam bentuk Shahifah (lembaran)
3. Masa Tabi’in Penghimpunan Hadits Bercampur antara hadits Nabi dan fatwa sahabat dan aqwal sahabat Shahifah, Mushannaf, Muwaththa’, Musnad, Jami’
4. Masa Tabi’ tabi’in Kejayaan kodifikasi hadits (Azha Al-Ushur Sunnah) Filterisasi dan klasifikasi (‘Ashr al-Jami’ wa At-tashhih) Musnad, Jami’, dan Sunan
5. Masa setelah Tabi’Tabi’in (abad IV H - dan seterusnya) Penghimpunan dan penerbitan secara sistematik (Al-jam’u wa at-Tartib wa at-Tandzim) Bereferensi (muroja’ah) pada buku-buku sebelumnya tetapi lebih sistematik -Mu’jam, Mustadrok, Mustakhhroj, Ikhtisar, dan Syarah


 DAFTAR PUSTAKA

Suparta, Munzier, Ilmu Hadits, --Ed. 1., Cet.1.—Jakarta : PT. Raja GRafindo Persada, 1993.

Shalah, Ibnu, Ulumul Hadits, Madinah : Al-Maktabah Al-Ilmiah