Jumat, 16 April 2010

PEMIKIRAN POLITIK NEGARA DAN AGAMA

PEMIKIRAN POLITIK NEGARA DAN AGAMA

Kajian ini didasarkan pada alasan yang bersifat umum karena, yang dijadikan akar adalah upaya kecil dalam mengoreksi tendensi pendekatan kontemporer mengenai teori politik yang ada sekarang. Acuannya berusaha memahami kemungkinan kemunculan berbagai pemikiran politik dari berbagai dimensi. Terutama dimensi agama. Di sisi lain, gejolak pemikiran teori politik dan dasar negara masih terus mengalami interpretasi-interpretasi yang memang tidak pernah usang.


Sementara, hukum syari'ah dalam batas-batas tertentu, sebenarnya masih berstatus teoritis-idealis. Disebut demikian, karena finalnya tidak terletak pada tataran konsep, tetapi terletak pada kondisi penerapannya. Dengan demikian, hukum syari'ah bersifat sangat kondisional. Kondisionalitas inilah yang menunjukkan syari'ah Islam sangat fleksibel dan tidak kaku.


Sedangkan konsep pemikiran negara dalam karya-karya para penulis Islam sejak awal, langsung terkait dengan pemikiran tentang hukum. Dengan demikian, pemikiran negara yang berkembang lalu begiru ditekankan pada aspek legal dari negara dan unsur-unsur pendukungnya, seperti perangkat kenegaraan (imam, dst.). Finalisasi menuju kerangka teoritis pemikiran politik dan negara Islam diperlukan pematangan pemikiran kita tentang negara dan politik. Berikut secara singkat, kita mencoba memahaminya secara detail geneologi keduanya, walaupun jauh dari nilai maksimal.

Bingkai Politik dalam al-Quran
Kata politik pada mulanya terambil dari bahasa Yunani dan atau Latin politicos atau politõcus yang berarti relating to citizen. Keduanya berasal dari kata polis yang berarti kota. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata politik sebagai "segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain." Juga dalam arti "kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani satu masalah)."

Dalam kamus-kamus bahasa Arab modern, kata politik biasanya diterjemahkan dengan kata siyasah. Kata ini terambil dari akar kata sasa-yasusu yang biasa diartikan mengemudi, mengendalikan, mengatur, dan sebagainya. Dari akar kata yang sama ditemukan kata sus yang berarti penuh kuman, kutu, atau rusak. Dalam al-Quran tidak ditemukan kata yang terbentuk dari akar kata sasa-yasusu, namun ini bukan berarti bahwa al-Quran tidak menguraikan soal politik.

Uraian al-Quran tentang politik secara sepintas dapat ditemukan pada ayat-ayat yang berakar kata hukum. Kata ini pada mulanya berarti "menghalangi atau melarang dalam rangka perbaikan." Dari akar kata yang sama terbentuk kata hikmah yang pada mulanya berarti kendali. Makna ini sejalan dengan asal makna kata sasa-yasusu-sais siyasat, yang berarti mengemudi, mengendalikan, pengendali, dan cara pengendalian.

Hukum dalam bahasa Arab tidak selalu sama artinya dengan kata "hukum" dalam bahasa Indonesia yang oleh kamus dinyatakan antara lain berarti "putusan". Dalam bahasa Arab kata ini berbentuk kata jadian, yang bisa mengandung berbagai makna, bukan hanya bisa digunakan dalam arti "pelaku hukum" atau diperlakukan atasnya hukum, tetapi juga ia dapat berarti perbuatan dan sifat. Sebagai "perbuatan" kata hukum berarti membuat atau menjalankan putusan, dan sebagai sifat yang menunjuk kepada sesuatu yang diputuskan. Kata tersebut jika dipahami sebagai "membuat atau menjalankan keputusan", maka tentu pembuatan dan upaya menjalankan itu, baru dapat tergambar jika ada sekelompok yang terhadapnya berlaku hukum tersebut. Ini menghasilkan upaya politik.

Kata siyasat sebagaimana dikemukakan di atas diartikan dengan politik dan juga sebagaimana terbaca, sama dengan kata hikmat. Di sisi lain terdapat persamaan makna antara pengertian kata hikmat dan politik. Sementara ulama mengartikan hikmat sebagai kebijaksanaan, atau kemampuan menangani satu masalah sehingga mendatangkan manfaat atau menghindarkan mudarat. Pengertian ini sejalan dengan makna kedua yang dikemukakan Kamus Besar Bahasa Indonesia tentang arti politik, sebagaimana dikutip di atas.

Dalam al-Quran ditemukan dua puluh kali kata hikmah, kesemuanya dalam konteks pujian. Salah satu di antaranya adalah surat al-Baqarah (2): 269: “Siapa yang dianugerahi hikmah, maka dia telah dianugerahi kebajikan yang banyak.”

Politik, dikatakan mempunyai nilai ketika pelaku politik (politikus) mengaplikasikan konsep-konsep dasar secara esensial dan menyisir segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Memetakan antar aspek secara bijak. Supremasi hukum ditegakkan sesuai hirarkis yuridis. Penegakan hak-hak dasar masyarakat oleh perangkat kenegaraan. Menurut pemikir muslim selama ini hak-hak dasar itu adalah (1) hak dasar keselamatan fisik, (2) hak dasar akan keselamatan keyakinan, (3) hak dasar akan keselamatan keluaarga dan keturunan, (4) hak dasar akan keselamatan harta benda, dan (5) hak dasar akan keselamatan pekerjaan atau profesi. Serta kebijakan-kebijakan lain yang mengarah pada satu maksud, yakni penanaman asas pancasila.

Peran Agama dalam Pembentukan Negara
Agama dan negara pada masa Rasulullah Saw. adalah dua kutub yang merekat menjadi satu. Karena, Islam merupakan agama hukum sehingga ada keharusan merumuskan hubungan antara agma dan negara. Namun, dewasa ini, polaritas agama dan negara dalam pandangan-pandangan klasik dan kontemporer tetap saja terjadi. Rasulullah Saw., dalam teori maupun praktik politiknya, menempati posisi yang unik sebagai pemimpin dan sumber spiritual undang-undang Ketuhan, namun sekaligus juga pemimpin pemerintahan Islam yang pertama. Kerangka kerja Konstitusional pemerintahan ini terungkap dalam sebuah dokumen terkenal yang di sebut Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah. Dalam pasal satu disebutkan “Sesungguhnya mereka adalah satu bangsa negara (ummat), bebas dari (pengaruh dan kekuasaan) manusia lainnya.” Terlihat jelas bahwa orang-orang Islam dan semua warga yang tinggal di Madinah tergabung dalam satu masyarakat yang secara fisik dan politis tidak ada benturan antar kelompok. Kemudian dalam pasal 23, 26, dan 42 secara tegas menyebutkan Allah Swt. dan Nabi Muhammad Saw. sebagai hakim terakhir serta sumber segenap kekuasaan dan kekuatan (wewenang).

Dari pasal-pasal di atas, dapat diambil pengertian bahwa pembentukan negara sementara masih berpegang teguh pada hukum Tuhan. Hal ini adalah langkah jitu yang diterapkan Nabi Saw. karena, pada masa itu Islam masih dalam fase penyebaran –baca; dakwah. Selanjutnya setelah Islam tegak, dan peristiwa wafatnya Nabi Saw. yang tak terduga menjadi sebab larutnya masyarakat dalam ketidakpastian tentang krisis penggantinya. Pemicu awalnya, Nabi Saw. tidak berwasiat tentang yang berhak menggantikannya sebagai pemimpin negara Islam. Pada gilirannya muncul istilah khalifah —pengganti kedudukan kenabaian dan kerasulan yang dibawanya ke alam baka— yang pertama kali disandang oleh Abu Bakar as-Shidiq. Pada saat Umar ibn Khattab menjadi khalifah, ada penambahan gelar sebagai panglima tertinggi angkatan perang, “amirul mu’minin.” Akhirnya khalifah dan amir menjadi sinonim.

Epilog
Persoalan suksesi kekuasaan dalam Islam tidak tetap. Kadang memakai konsep istikhlaf (kasus Abu Bakar ke Umar ibn Khattab). Kadang juga memakai sistem bai’at (umat mem-bai’at Abu Bakar). Kadang memakai sistem ahl al-hal wa al-aqd (sistem formatur). Padahal, perihal suksesi adalah persoalan yang cukup urgen dalam masalah kenegaraan. Kondisi awal di atas adalah pijakan pertama dalam pembentukan negara Islam.

Pijakan-pijakan dalam membentuk negara ialah agama yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip ashabiyah (perasaan keterikatan antara satu dengan lainnya) yang digagas Ibnu Khaldun adalah salah satu elemen pembentukan negara. Beliau berpendapat bahwa agama saja tidak cukup untuk membentuk negara. Alasan yang dikemukakan Ibnu khaldun adalah berdirinya sebuah negara karena adanya perasaan kebangsaan. Ini adalah paham kebangsaan petama yang pernah dirumuskan Ibnu Khaldun. Wassalam

www.hidayahlirboyo.co.cc
Ibnu Wahid

Senin, 05 April 2010

BAKTI SOSIAL KORBAN BANJIR
(BAKSOS)
KARAWANG BEKASI DAN PURWAKARTA
KORPS MAHASISWA PENGHAFAL DAN PENGKAJI AL-QUR'AN
(KOMPPAQ)
KELUARGA BESAR MAHASISWA JAWA BARAT, BANTEN DAN SEKITARNYA
INSTITUT PTIQ - IIQ JAKARTA
AHAD, 04 APRIL 2010